IBADAH
DALAM AGAMA ISLAM
Disusun untuk Memenuhi
Tugas
Mata Kuliah Agama Islam
Disusun oleh :
201353064
Deny Aditiya
PROGRAM STUDI SISTEM INFORMASI FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS MURIA KUDUS
2013
|
PENGESAHAN
Makalah
ini di setujui dan disahkan oleh pembimbing pada :
Hari : Selasa
Tanggal : 22 Oktober 2013
Kudus,
Mengetahui,
Pembimbing
M.ASNAWI,
M.Ag
MOTTO
v Jadilah
manusia yang pada hari kelahiran semua orang tertawa bahagia, tetapi hanya diri
sendiri yang menangis dan pada hari kematian semua orang menangis sedih, tetapi
hanya diri sendiri yang tersenyum.
v Bersikaplah
kukuh seperti batu karang yang tidak putus -putusnya dipukul ombak. Ia tidak
saja tetap berdiri kukuh, bahkan ia menenteramkan amarah ombak dan gelombang
itu.
PERSEMBAHAN
Makalah ini disusun oleh penulis
guna dipersembahkan kepada :
1. Ayah
dan ibunda tercinta
2. Keluargaku
tersayang
3.
Bapak M.Asnawi,
M,Ag, selaku pembimbing
4.
Semua
teman-temanku
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah
SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada penulis sehingga
penulis berhasil menyelesaikan Makalah
dengan judul “Ibadah Dalam Agama” dan tiada suatu halangan yang
berarti.
Akhir kata, penulis sampaikan
terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan Makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga
Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.
Tidak ada kata sempurna bagi manusia, begitu pula dengan diri penulis. Dalam Makalah ini, penulis
menyadari bahwa masih banyak kekurangan. Karena itu, kritik dan saran yang
membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan Makalah ini.
Akhir kata, penulis berharap agar Makalah ini dapat
bermanfaat bagi para pembaca.
Kudus,23 September 2013
Penulis,
DAFTAR ISI
SAMPUL
PENGESAHAN.......................................................................................................... 1
MOTTO....................................................................................................................... 2
PERSEMBAHAN....................................................................................................... 3
KATA PENGANTAR................................................................................................ 4
DAFTAR ISI................................................................................................................ 5
BAB I PENDAHULUAN
Hukum Taklifiy.............................................................................................................. 6 Hukum
Wadh’iy............................................................................................................. 8
Sumber-Sumber Ajaran Islam Primer............................................................................. 9
Sumber-Sumber Ajaran Islam Sekunder........................................................................ 11
BAB II PEMBAHASAN
A.
Pengertian
ibahah............................................................................................................ 13
B.
Ibahah dalam
hadits Nabi Muhammad SAW................................................................. 14
C. Ibahah dalam Al-Qur’an................................................................................................. 15
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan...................................................................................................................... 16
B.
Kritik dan
Saran.............................................................................................................. 16
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
Agama Islam memiliki aturan–aturan
sebagai tuntunan hidup kita baik dalam berhubungan sosial dengan manusia (hablu
minannas) dan hubungan dengan sang khaliq Allah SWT (hablu minawallah)
dan tuntunan itu kita kenal dengan hukum islam atau syariat islam atau hukum
Allah SWT. Sebelum kita lebih jauh membahas mengenai sumber-sumber syariat
islam, terlebih dahulu kita harus mengetahui definisi dari hukum dan hukum
islam atau syariat islam. Hukum artinya menetapkan sesuatu atas sesuatu atau
meniadakannya.
Menurut ulama usul fikih, hukum
adalah tuntunan Allah SWT (Alquran dan hadist) yang berkaitan dengan
perbuatan mukallaf(orang yang sudah balig dan berakal sehat), baik
berupa tuntutan, pemilihan, atau menjadikan sesuatu sebagai syarat, penghalang,
sah, batal, rukhsah( kemudahan ) atau azimah.
Sedangkan menurut ulama fikih, hukum
adalah akibat yang ditimbulkan oleh syariat (Alquran dan hadist) berupa al-wujub,
al-almandub, al-hurmah, al- karahah, dan al-ibahah. Perbuatan
yang dituntut tersebut disebut wajib, sunah (mandub), haram, makruh, dan
mubah. Ulama usul fikih membagi hukum islam menjadi dua bagian, yaitu hukum
taklifiy dan hukum wadh’iy dan penjelasannya sebagai berikut :
1.
Hukum Taklifiy
Adalah tuntunan Allah yang berkaitan
dengan perintah untuk melakukan suatu perbuatan atau meninggalkannya. Hukum
taklifiy dibagi menjadi lima macam, yaitu :
a. Al-ijab, yaitu tuntutan secara pasti dari syariat untuk
dilaksanakan dan dilarang ditinggalkan, karena orang yang meninggalkannya dikenai
hukuman
b. An-nadh, yaitu tuntutan dari syariat
untuk melaksanakan suatu perbuatan, tetapi tuntutan itu tidak secara pasti.
Jika tuntutan itu dikerjakan maka pelakunya mendapatkan pahala, tetapi jika
tidak dikerjakan tidak hukuman (dosa)
c. Al-ibahah, yaitu firman Allah yang
mengandung pilihan untuk melakukan suatu perbuatan atau meninggalkannya
d.
Al-karahah, yaitu tuntutan untuk
meninggalkan suatu perbuatan, tetapi tuntutan itu diungkapkan melalui untaian
kata yang tidak pasti sehingga kalau dikerjakan pelakunya tidak dikenai hukuman
e.
Al-tahrim, yaitu tuntutan untuk
tidak mengerjakan suatu perbuatan dengan tuntutan yang pasti sehingga tuntutan
untuk meninggalkan perbuatan itu wajib, dan jika dikerjakan pelakunya
mendapatkan hukuman (berdosa).
Menurut ulama fikih pebuatan mukallaf itu jika
ditinjau dari syariat islam dibagi menjadi lima macam, yaitu :
a.
Fardu
(wajib), yaitu perbuatan yang apabila dikerjakan pelakunya
mendapatkan pahala, tetapi apabila ditinggalkan pelakunya mendapatkan
hukuman (berdosa), perbuatan wajib ditinjau dari segi orang melakukannya dibagi
menjadi dua, yaitu:
· Fardu ain, yaitu perbuatan wajib yang harus dikerjakan oleh
setiap mukallaf, seperti shalat lima waktu
· Fardu kifayah, yaitu perbuatan wajib yang harus
dikerjakan oleh salah seorang anggota masyarakat, dan jika telah dikerjakan
oleh salah seorang anggota masyarakat, maka gugur kewajiban anggota masyarakat
lainnya, seperti memandikan, mengafani, menshalatkan, dan menguburkan jenazah
muslim.
b. sunnah (mandub), yaitu
perbuatan yang apabila dikerjakan pelakunya mendapatkan pahala, tetapi apabila
ditinggalkan pelakunya tidak mendapatkan hukuman (dosa), perbuatan sunnah
dibagi menjadi dua, yaitu:
· Sunnah ain, yaitu perbuatan sunnah yang dianjurkan untuk
dikerjakan oleh setiap individu, seperti shalat sunnah rawatib
· Sunnah kifayah, yaitu perbuatan sunnah yang dianjurkan
dikerjakan oleh salah seorang atau beberapa orang dari golongan masyarakat,
seperti memberi salam, mendoakan muslim atau muslimat
c. Haram, yaitu perbuatan yang apabila dikerjakan pelakunya
berdosa dan akandihukum,tetapi apabila ditinggalkan pelakunya mendapatkan
pahala, seperti: bezina, mencuri, membunuh
d.
Makruh, yaitu perbuatan yang apabila
dikerjakan pelakunya tidak berdosa, tetapi apabila ditinggalkan pelakunya
mendapat pahala, seperti: meninggalkan shalat Dhuha
e.
Mubah, yaitu perbuatan yang boleh
dikerjakan dan boleh ditinggalkan, seperti: memilih warna pakaian penutup
auratnya.
2.
Hukum Wadh’iy
Adalah perintah Allah SWT, yang mengandung pengertian, bahwa
terjadinya sesuatu merupakan sebab, syarat atau penghalang bagi adanya sesuatu
(hukum).
Ulama usul fikih berpendapat bahwa hukum waid’iy itu terdiri dari tiga macam,
yaitu :
a.
Sebab, yaitu sifat yang nyata dan
dapat diukur yang dijelaskan dalam nas (Alquran dan hadist),
bahwa keberadaannya menjadi sebab tidak adanya hukum. Seperti: tergelincirnya
matahari menjadi sebab wajibnya shalat zhuhur, jika matahari belum tergelincir
maka shalat zhuhur belum wajib dilakukan
b.
Syarat, yaitu sesuatu yang berada
diluar hukum syara’, tetapi keberadaan hukum syara’ tergantung
padanya, jika syarat tidak ada maka hukum pun tidak ada. Seperti: genap satu
tahun (haul) adalah syarat wajibnya harta perniagaan, jika tidak haul maka
tidak wajib zakat perniagaan
c.
Penghalang (mani), yaitu sesuatu
yang keberadaannya menyebabkan tidak adanya hukum atau tidak adanya sebab
hukum. Seperti: najis yang ada di badan atau pakaian orang yang sedang
melaksanakan shalat menyebabkan shalatnya tidak sah atau menghalangi sahnya
shalat.
Melalui penjelasan singkat mengenai
pengertian hukum islam atau syariat islam tadi barulah kita mengerti pengertian
hukum islam. Yang dimaksud sebagai sumber hukum islam adalah segala sesuatu
yang melahirkan atau menimbulkan aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat
mengikat yang apabila dilanggar akan menimbulkan sanksi yang tegas dan nyata
(Sudarsono, 1992:1).
Dengan demikian sumber hukum islam
ialah segala sesuatu yang dijadikan dasar, acuan, atau pedoman syariat islam.
Pada umumnya para ulama fikih sependapat bahwa sumber utama hukum islam adalah
Alquran dan hadist. Dalam sabdanya Rasulullah SAW bersabda, “ Aku
tinggalkan bagi kalian dua hal yang karenanya kalian tidak akan tersesat
selamanya, selama kalian berpegang pada keduanya, yaitu Kitab Allah dan
sunnahku.” Dan disamping itu pula para ulama fikih menjadikan ijtihad
sebagai salah satu dasar hukum islam, setelah Alquran dan hadist.
Seluruh hukum produk manusia adalah
bersifat subjektif, hal ini karena keterbatasan manusia dalam ilmu pengetahuan
yang diberikan Allah SWT mengenai kehidupan dunia dan kecenderungan untuk
menyimpang, serta menguntungkan penguasa pada saat pembuatan hukum tersebut,
sedangkan hukum Allah SWT adalah peraturan yang lengkap dan sempurna serta
sejalan dengan fitrah manusia.
Sumber ajaran islam dirumuskan
dengan jelas oleh Rasulullah SAW, yakni terdiri dari tiga sumber, yaitu
kitabullah (Alquran), as- sunnah (hadist), dan ra’yu atau akal pikiran manusia
yang memenuhi syarat untuk berijtihad. Ketiga sumber ajaran ini merupakan satu
rangkaian kesatuan dengan urutan yang tidak boleh dibalik. Sumber-sumber ajaran
islam ini dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu sumber ajaran islam yang
primer (Alquran dan hadist) dan sumber ajaran islam sekunder (ijtihad).
Pembahasan mengenai karakteristik masing-masing sumber ajaran islam tersebut
adalah sebagai berikut:
1.
Sumber-Sumber Ajaran Islam
Primer
A. Alqur’an
Secara etimologi Alquran berasal
dari kata qara’a, yaqra’u, qiraa’atan, atau qur’anan yang
berarti mengumpulkan (al-jam’u) dan menghimpun (al-dlammu).
Sedangkan secara terminologi (syariat), Alquran adalah Kalam Allah ta’ala yang
diturunkan kepada Rasul dan penutup para Nabi-Nya, Muhammad shallallaahu
‘alaihi wasallam, diawali dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat
an-Naas. Dan menurut para ulama klasik, Alquran adalah Kalamulllah yang
diturunkan pada rasulullah dengan bahasa arab, merupakan mukjizat dan
diriwayatkan secara mutawatir serta membacanya adalah ibadah.
Pokok-pokok kandungan dalam Alquran
antara lain:
·
Tauhid
·
Ibadah
·
Janji dan ancaman
·
Kisah
umat terdahulu
Al-Quran mengandung tiga komponen dasar hukum, sebagai
berikut:
·
Hukum
I’tiqadiah, yakni hukum yang mengatur
hubungan rohaniah manusia dengan Allah SWT dan hal-hal yang berkaitan dengan
akidah/keimanan. Hukum ini tercermin dalam Rukun Iman. Ilmu yang mempelajarinya
disebut Ilmu Tauhid, Ilmu Ushuluddin, atau Ilmu Kalam.
·
Hukum
Amaliah, yakni hukum yang mengatur secara lahiriah hubungan manusia dengan
Allah SWT, antara manusia dengan sesama manusia, serta manusia dengan
lingkungan sekitar. Hukum amaliah ini tercermin dalam Rukun Islam dan disebut
hukum syara/syariat. Adapun ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Fikih.
·
Hukum Khuluqiah, yakni hukum yang berkaitan
dengan perilaku normal manusia dalam kehidupan, baik sebagai makhluk individual
atau makhluk sosial. Hukum ini tercermin dalam konsep Ihsan. Adapun ilmu yang
mempelajarinya disebut Ilmu Akhlaq atau Tasawuf.
Sedangkan khusus hukum syara dapat dibagi
menjadi dua kelompok, yakni:
·
Hukum
ibadah, yaitu hukum yang mengatur
hubungan manusia dengan Allah SWT, misalnya salat, puasa, zakat, dan haji
·
Hukum
muamalat, yaitu hukum yang mengatur manusia dengan sesama manusia dan alam
sekitarnya.
B. Hadist
Sunnah menurut syar’i adalah
segala sesuatu yang berasal dari Rasulullah SAW baik perbuatan, perkataan, dan
penetapan pengakuan. Sunnah berfungsi sebagai penjelas ayat-ayat Alquran yang
kurang jelas atau sebagai penentu hukum yang tidak terdapat dalam Alquran.
Sunnah dibagi menjadi empat macam,
yaitu:
·
Sunnah
qauliyah, yaitu semua perkataan Rasulullah
·
Sunnah
fi’liyah, yaitu semua perbuatan Rasulullah
· Sunnah taqririyah, yaitu penetapan
dan pengakuan Rasulullah terhadap pernyataan ataupun perbuatan orang lain
·
Sunnah
hammiyah, yaitu sesuatu yang telah direncanakan akan dikerjakan tapi tidak
sampai dikerjakan.
2.
Sumber-Sumber Ajaran Islam
Sekunder
A. Ijtihad
Ijtihad berasal dari kata ijtihada yang
berarti mencurahkan tenaga dan pikiran atau bekerja semaksimal mungkin.
Sedangkan ijtihad sendiri berarti mencurahkan segala kemampuan berfikir untuk
mengeluarkan hukum syar’i dari dalil-dalil syara, yaitu Alquran dan hadist.
Hasil dari ijtihad merupakan sumber hukum ketiga setelah Alquran dan hadist.
Ijtihad dapat dilakukan apabila ada suatu masalah yang hukumnya tidak terdapat
di dalam Alquran maupun hadist, maka dapat dilakukan ijtihad dengan menggunakan
akal pikiran dengan tetap mengacu pada Alquran dan hadist.
Macam-macam ijtidah yang dikenal
dalam syariat islam, yaitu :
·
Ijma’, yaitu menurut bahasa artinya sepakat, setuju, atau sependapat.
Sedangkan menurut istilah adalah kebulatan pendapat ahli ijtihad umat Nabi
Muhammad SAW sesudah beliau wafat pada suatu masa, tentang hukum suatu perkara
dengan cara musyawarah. Hasil dari Ijma’ adalah fatwa, yaitu keputusan bersama
para ulama dan ahli agama yang berwenang untuk diikuti seluruh umat.
·
Qiyas, yaitu berarti mengukur sesuatu dengan
yang lain dan menyamakannya. Dengan kata lain Qiyas dapat diartikan pula
sebagai suatu upaya untuk membandingkan suatu perkara dengan perkara lain yang
mempunyai pokok masalah atau sebab akibat yang sama. Contohnya adalah pada
surat Al isra ayat 23 dikatakan bahwa perkataan ‘ah’, ‘cis’, atau ‘hus’ kepada
orang tua tidak diperbolehkan karena dianggap meremehkan atau menghina, apalagi
sampai memukul karena sama-sama menyakiti hati orang tua.
·
Istihsan,
yaitu suatu proses perpindahan dari suatu Qiyas kepada Qiyas lainnya
yang lebih kuat atau mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima untuk
mencegah kemudharatan atau dapat diartikan pula menetapkan hukum suatu perkara
yang menurut logika dapat dibenarkan. Contohnya, menurut aturan syarak, kita
dilarang mengadakan jual beli yang barangnya belum ada saat terjadi akad. Akan
tetapi menurut Istihsan, syarak memberikanrukhsah (kemudahan atau keringanan) bahwa jual beli diperbolehkan dengan
system pembayaran di awal, sedangkan barangnya dikirim kemudian.
·
Mushalat
Murshalah, yaitu menurut bahasa berarti kesejahteraan umum. Adapun menurut
istilah adalah perkara-perkara yang perlu dilakukan demi kemaslahatan manusia.
Contohnya, dalam Al Quran maupun Hadist tidak terdapat dalil yang memerintahkan
untuk membukukan ayat-ayat Al Quran. Akan
tetapi, hal ini dilakukan oleh umat Islam demi kemaslahatan umat.
·
Sududz
Dzariah, yaitu menurut bahasa berarti menutup jalan,
sedangkan menurut istilah adalah tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi
makruh atau haram demi kepentingan umat. Contohnya adalah adanya larangan
meminum minuman keras walaupun hanya seteguk, padahal minum seteguk tidak memabukan.
Larangan seperti ini untuk menjaga agar jangan sampai orang tersebut minum
banyak hingga mabuk bahkan menjadi kebiasaan.
·
Istishab, yaitu melanjutkan berlakunya hukum
yang telah ada dan telah ditetapkan di masa lalu hingga ada dalil yang mengubah
kedudukan hukum tersebut. Contohnya, seseorang yang ragu-ragu apakah ia sudah
berwudhu atau belum. Di saat seperti ini, ia harus berpegang atau yakin kepada
keadaan sebelum berwudhu sehingga ia harus berwudhu kembali karena shalat tidak
sah bila tidak berwudhu.
·
Urf, yaitu
berupa perbuatan yang dilakukan terus-menerus (adat), baik berupa perkataan
maupun perbuatan. Contohnya adalah dalam hal jual beli. Si pembeli menyerahkan
uang sebagai pembayaran atas barang yang telah diambilnya tanpa mengadakan ijab
kabul karena harga telah dimaklumi bersama antara penjual dan pembeli.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
Banyak orang mengira bahwa suatu hal
yang mubah adalah hal-hal yang sekedar tidak dilarang dan tidak pula
diperintahkan, atau hal-hal yang tidak diatur oleh syara’, atau hal-hal yang
tidak ditentukan hukumnya oleh syariat islam. Menurut mereka, syariah datang
dengan mewajibkan sebagian kecil dari berbagai jenis perbuatan manusia,
mengharamkan sebagian kecil dari berbagai jenis perbuatan manusia, mensunahkan
sebagian kecil dari berbagai jenis perbuatan manusia, dan memakruhkan sebagian
kecil dari berbagai jenis perbuatan manusia, kemudian sisanya merupakan
perbuatan yang tidak disentuh oleh syara’.
Wilayah itu merupakan wilayah yang
dibiarkan seperti semula ketika syariat belum datang, tidak ada perintah untuk
mengerjakannya, juga tidak ada aturan untuk meninggalkannya, itulah yang mereka
anggap sebagai hal yang mubah, yaitu wilayah yang tidak dijamah oleh syariat.
Pada masa lalu, pendapat semacam ini diutarakan oleh para tokoh Mu’tazilah,
sehingga mereka menyatakan bahwa mubah bukanlah hukum syara’. Sebagai ulama
yang tidak berpaham mu’tazilah, An Nabhani membantah pandangan di atas secara
singkat dalam kitab beliau, Asy Syakhshiyyah Al Islamiyyah jilid III halaman 44
s/d 46. Berikut ini adalah uraian beliau:
“Mubah adalah apa yang ditunjukkan
oleh dalil sam’i mengenai seruan Asy Syaari’ (Pembuat hukum, yakni Allah SWT)
berupa pilihan untuk melaksanakan atau meninggalkan perbuatan dengan tanpa
implikasi (pahala maupun siksa).
A.
Pengertian ibahah
Al-ibahah, yaitu firman Allah yang
mengandung pilihan untuk melakukan suatu perbuatan atau meninggalkannya .
Ibahah/kebolehan merupakan bagian dari hukum syara’, sebab dia merupakan seruan
Asy Syari’, oleh karena itu, untuk menetapkan hukum ibahah, tidak bisa tidak
harus ada seruan Syari’ yang menunjukkannya. Ibahah (boleh) bukanlah sekedar
ditiadakannya kesempitan untuk mengerjakan sesuatu atau meninggalkannya, sebab
jika demikian niscaya pensyariatannya telah ada sebelum datangnya syara’.
Padahal, tidak ada hukum sebelum
datangnya syara’ (kaidah: laa hukma qobla wuruudisy syar’i), sedangkan
ibahah/boleh tidak lain merupakan hukum yang disebutkan oleh seruan Asy Syari’
berupa pilihan untuk melaksanakan ataupun meninggalkannya, dia telah
disyariatkan oleh hukum syara’ itu sendiri, dan hanya terwujud pasca datangnya
syariat. Oleh karena itu, ibahah/boleh tergolong hukum syara’. Lebih dari itu,,
sesungguhnya pada tiap-tiap perkara yang dihukumi ibahah, tidak boleh tidak
harus ada ketetapan syara’ yang menyatakan ke-ibahah-annya, Sebab
Ibahah/kebolehan bukanlah hal yang tidak dibahas oleh syara’, artinya bukan
sekedar yang tidak diharamkan dan tidak pula dihalalkan.
B. Ibahah
dalam hadits Nabi Muhammad SAW
Adapun hadits yang dikeluarkan oleh
Tirmidzi dari Sulaiman Al Farisi yang berkata: Rasulullah shollallaahu ‘alaihi
wa sallam ditanya mengenai minyak samin, keju, dan kulit binatang, maka beliau
bersabda: “yang halal itu adalah apa yang dihalalkan oleh Allah di dalam
kitabNya, dan yang haram itu adalah apa yang diharamkan oleh Allah di dalam
KitabNya, dan apa-apa yang didiamkan maka ia tergolong hal-hal yang dimaafkan”.
Hadits ini tidak menunjukkan bahwa
hal-hal yang didiamkan oleh Al Qur’an otomatis mubah, sebab, ada hal-hal yang
diharamkan dan ada pula hal-hal yang dihalalkan di dalam hadits. Telah shohih
dari Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda: “ingatlah
sesunggunya aku diberi Al Qur’an dan hal yang semisal dengannya bersamanya”
(HR Ahmad). Maka yang dimaksud oleh hadits itu adalah “apa yang didiamkan
oleh wahyu” (didiamkan oleh Al Qur’an dan As Sunnah, bukan Al Qur’an
semata). Demikian juga, hadits tersebut tidak menyatakan bahwa mubah adalah
apa-apa yang didiamkan oleh wahyu, sebab perkataan beliau di dalam hadits “yang
halal adalah apa yang dihalalkan oleh Allah” itu meliputi segala sesuatu
yang tidak diharamkanNya, maka ia mencakup hal yang wajib, sunah, mubah dan
makruh, sebab telah dibenarkan dari Beliau bahwa yang halal maknanya adalah
yang tidak haram. Atas dasar itu, tidak benar jika dikatakan bahwa makna “apa
yang didiamkan” adalah mubah. Sedangkan sabda beliau “apa yang didiamkan
maka dia tergolong hal yang dimaafkan”, dan sabda beliau di dalam hadits “apa
yang didiamkan maka dia adalah kemaafan” (HR Al Baihaqi).
demikian juga sabda beliau
shollallaahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang lain: “dan (Allah) diam
terhadap sesuatu sebagai suatu rukhshoh bagi kalian, bukan kelalaian, maka
janganlah kalian mengutak-atiknya” (HR Baihaqi), maka sesungguhnya makna
dari “diamnya terhadap sesuatu” adalah “penghalalannya terhadap sesuatu
tersebut”, dan penghalalan terhadapnya itu dihitung sebagai pemaafan dari
Allah, sekaligus rahmat bagi manusia, sebab Dia tidak mengharamkannya, tapi
justru menghalalkannya.
Dalilnya adalah sabda Rasulullah
shollallaahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Sa’id bin Abi Waqosh: “sesungguhnya
kejahatan terbesar seorang muslim kepada muslim yang lain adalah menanyakan
sesuatu yang tidak diharamkan kepada umat islam, kemudian menjadi diharamkan
karena pertanyaannya” (HR Muslim) artinya, orang yang menanyakan sesuatu
yang keharamannya tidak dibicarakan oleh wahyu. Maka dari itu, diam di dalam
hadits-hadits tersebut maknanya adalah diam dari pengharaman, bukan diam dari
penjelasan hukum syara’, sebab Allah tidak diam terhadap penjelasan hukum
syara’, bahkan Allah menjelaskannya dalam segala sesuatu.
C.
Ibahah dalam Al-Qur’an
Allah Ta’ala berfirman : “dan
kami turunkan kepadamu Al Kitab sebagai penjelas bagi segala sesuatu” (QS
An Nahl: 89).
Oleh karena itu, mubah itu bukanlah
apa-apa yang didiamkan oleh syara’, namun, mubah adalah apa yang dijelaskan
hukum kemubahannya oleh Syara’. Dan arti dari “apa yang didiamkan oleh syara’”
adalah “apa yang tidak diharamkanNya”, alias “apa yang dihalalkan olehNya”.
Maka dari itu, kebolehan berburu
dijelaskan dalam Firman Allah :“apabila kalian telah bertahalul maka
berburulah”.
dan kebolehan untuk bertebaran di
muka bumi setelah sholat jum’at dijelaskan dalam Firman Allah artinya: “dan
apabila telah ditunaikan sholat, maka bertebaranlah kalian”,
sedangkan kebolehan jual-beli
dijelaskan di dalam FirmanAllah SWT yang artinya “dan Allah menghalalkan
jual-beli”.
sedangkan kebolehan ijaroh,
wakalah, gadai, dan yang lain telah jelas dalam dalil-dalil masing-masing. Atas
dasar itu, ibahah merupakan hukum syara’, dan penentuannya harus berdasarkan
dalil syara’ yang menunjukkannya”.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Al-Qur'an adalah qalam Allah yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw dalam bahasa Arab dengan perantaraan
malaikat Jibril yang diawali dengan surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat
An-Nas, membacanya merupakan ibadah.
Dalam al-qur’an terdapat hukum-hukum
Allah termasuk diantaranya Al- ibahah yaitu firman Allah yang mengandung
pilihan untuk melakukan suatu perbuatan atau meninggalkannya tanpa ada
implikasi pahala atau siksa. Yang merupakan hukum syari’, masuk dalam bagian
Hukum Taklifiy.
B.
KRITIK DAN SARAN
Demikian
Penyusunan Makalah ini, agar kiranya dapat bermanfaat bagi para pembaca
khususnya bagi diri penulis sendiri. Saran dan kritik dari pembaca akan selalu
penulis terima untuk penulisan makalah selanjutnya yang lebih baik.
Reviewed by Unknown
on
00.06
Rating:
Post a Comment